Lelah Bertengkar di Dunia Maya? Mungkin Kita Salah Melempar Mutiara

Pernahkah Anda selesai beradu argumen tentang keyakinan di media sosial, lalu alih-alih merasa menang, justru merasa lelah, hampa, bahkan terluka? Dunia maya seringkali terasa seperti medan perang, di mana kita merasa terpanggil untuk membela kebenaran. Namun, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah cara kita sudah tepat?

Seringkali, niat baik kita untuk membagikan kebenaran justru menjebak kita dalam lingkaran caci maki, serangan pribadi, dan adu gengsi. Kita membawa harta rohani kita yang paling berharga, lalu melemparkannya ke tengah kerumunan yang tidak menginginkannya.

Yesus pernah memberi peringatan yang sangat relevan untuk zaman kita sekarang. Dalam Matius 7:6, Ia berkata, "Jangan berikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan lemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu berbalik mengoyak kamu."

Ini bukan tentang menghakimi orang lain, melainkan sebuah strategi perlindungan. "Mutiara" kita—pemahaman iman, kesaksian hidup, kebenaran Injil—terlalu berharga untuk dibiarkan diinjak-injak dalam perdebatan yang tidak sehat. Bahayanya nyata: setelah kebenaran itu mereka injak-injak, mereka bisa "berbalik mengoyak" kita dengan fitnah dan serangan personal.

Kecerdasan Rohani: Kapan Bicara, Kapan Mundur

Alkitab tidak menyuruh kita menjadi penakut, tetapi cerdas. Rasul Paulus menasihati Titus dan Timotius untuk menjauhi "persoalan-persoalan yang bodoh," "perdebatan," dan "pertengkaran" karena semuanya itu "tidak berguna dan sia-sia" (Titus 3:9, 2 Timotius 2:23).

Kuncinya adalah "tidak berguna". Jika sebuah percakapan tidak lagi membangun, tidak lagi mencari titik temu, dan hanya bertujuan saling menjatuhkan, maka itu sudah masuk kategori "sia-sia". Seorang hamba Tuhan tidak dipanggil untuk bertengkar, melainkan untuk ramah, sabar, dan cakap mengajar. Energi kita terlalu berharga untuk dihabiskan di sana.

Kitab Amsal memberikan panduan yang cemerlang tentang ini. Di satu sisi, "jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia." Ini adalah perintah untuk mundur, menjaga diri agar tidak terseret ke level mereka. Di sisi lain, "jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak." Ini adalah panggilan untuk bertindak bijak; terkadang sebuah jawaban yang tenang dan cerdas diperlukan, bukan untuk berdebat, tapi untuk menunjukkan di mana letak kekeliruannya.

Ini adalah soal kepekaan rohani untuk tahu kapan harus diam dan kapan harus bicara dengan hikmat.

Cek Hati: Mencari Muka Tuhan atau Muka Manusia?

Pada akhirnya, yang terpenting adalah motivasi kita. Filipi 2:3 mengingatkan, "Janganlah melakukan sesuatu karena kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya, hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama."

Mari jujur pada diri sendiri. Saat kita terlibat dalam debat panas, apakah kita melakukannya untuk kemuliaan Tuhan atau untuk ego kita? Untuk membuktikan Kristus itu benar, atau untuk membuktikan kita yang benar? Jika tujuan kita adalah untuk "menang" dan mendapat pengakuan, kita sudah melenceng dari semangat Kristus.

Langkah Selanjutnya: Bersaksi dengan Cara yang Benar

Tentu, kita harus selalu siap sedia memberi pertanggungjawaban iman kita, seperti kata Petrus (1 Petrus 3:15), tetapi dengan "lemah lembut dan hormat."

Jadi, kenalilah ladang yang salah. Jika sebuah forum atau diskusi sudah berubah menjadi arena saling caci, jika argumen logis tidak lagi didengar, dan jika serangan pribadi menjadi senjata utama, itu tandanya tempat itu bukanlah tanah yang subur. Itu adalah rawa yang akan menyedot energi dan sukacita Anda. Mundurlah dengan tenang.

Fokus kita bukanlah memenangkan adu argumen, melainkan memenangkan hati. Dan itu seringkali jauh lebih efektif dilakukan melalui kesaksian hidup, perbuatan kasih, kesabaran, dan tutur kata yang membangun. Di situlah mutiara iman kita akan bersinar paling terang.

Kiranya Tuhan memberi kita kepekaan untuk membedakan mana ladang subur dan mana gurun pasir, agar kita dapat menjadi saksi-Nya yang bijaksana dan penuh kasih.

Komentar